Dalam Naungan Suci
Pagi yang
begitu cerah menghidupkan hati para santri Al- furqan untuk melakukan kegiatan
di hari itu. Ku duduk termenung membawa satu buku tulis dan pena sebagai tempat
mencurahkan isi fikiran dan hati ku. Memiliki banyak teman menjadi suatu
kebanggaan bagiku. Tiga hari yang terlewati, tetapi hati masih terus berkata
berat untuk hidup lama di pesantren . Niat untuk belajar agama masih terbesit
sedikit di hati. Ku tulis semua apa yang ada dalam benakku hingga butiran suci tumpah membasahi buku
curhat ku. Hidup di pesantren seperti halnya bayi yang baru terlahir ke dunia.
Semua menjadi putih. Ku sedikit sadar akan dosa-dosa yang lalu saat aku masih dalam perlindungan orangtua
ku. Tapi semua itu ku sia-siakan begitu saja. Melainkan aku yang telah durhaka
padanya. Semua itu baru terasa saat aku berada di pesantren ini. Ketika ku
duduk dari ketermenungan ku , ada seorang
ustadzah datang menghampiriku.
“Nak mengapa kamu menangis? “Tanya salah satu
ustadzah yang bermukim di pesantren .
“Aku ingin
pulang, ingin bertemu dengan ayah juga ibu ku ingin meminta maaf atas kenakalan
ku dulu yang pernah ku perbuat.” Jawab ku mengeluh dengan tetesan air mata ku
yang membasahi jilbab ku.
“Sebelumya nama kamu siapa nak?.”Tanya
ustadzah sambil mengusap air mata ku dengan sapu tangan hijaunya.
“Nama ku Qyara Fadila, ustadzah...”Jawab ku
dengan tersedak-sedak karna tangisku. “Sudah jangan menangis lagi, perlu kamu
ketahui Qyara bahwa segala sesuatu itu butuh proses, dan proses itu tidak mudah
untuk kita jalani.
”kata ustadzah
sedikit menasihati ku dengan tutur kata lembutnya. Aku memang belum tau siapa
nama ustadzah itu tapi aku sangat bangga daenganya karna ia bisa memberhentikan
derai air mata ku meski aku masih dalam kemurungan. Melihat mereka yang bisa
tertawa lebar. Tapi entah mengapa aku yang hanya bisa terdiam dalam kepolosan.
Ku jadi teringat akan desah-desuh masyarakat asal tiggal ku. Mereka yang
mengatakan. “santri itu bisa apa?,santri itu
bisa jadi apa?.”Aku pun yang belum tau apa makna santri sendiri itu apa. Hati
yang selalu berlari dalam kegelisahan. Hingga tidak ada ketenangan dalam jiwa.
Seiring
berjalanya waktu, ku mencoba untuk terus
bersabar dan ikhlas. Saat pagi yang
masih gelap bertepatan pada pukul 02:00, aku dan santri yang lain yang bergegas untuk
melaksanakan sholat tahajud berjamaah. Itu semua kita lakukan karna sudah
menjadi aktivitas wajib pesantren meski kami masih terbalut dalam rasa kantuk.
Selesai sholat tahajud,semua santri kembali ke asrama untuk kembali tidur.
Tetapi aku hanya duduk bersila di atas
sajadah merah sholat ku. Ku ambil Al- quran berkover emas pemberian sahabat ku
dimana ketika aku masih menduduki bangku sekolah di SMP. Mengingat semua itu
aku yang semakin terbayang dengan wajah sahabat ku. Aku tak sanggup menahan
perasaan rinduku padanya. Aku hanya bisa berdoa untuknya. Serta tetesan air
mata yang membasahi pipi ku .Ku usap air mataku dengan mukenah putih sholat ku.
Ku baca al-quran dengan suara sedikit tersedak karna tangisku hingga tak sadar
sampai terlelap tidur di atas sajadah merah kecil ku. Seseorang yang memandang
ku dari kejauhan,kala aku tertidur di atas sajadah sholat ku dalam masjid. Ia
pun mendekati ku , mengoyahkan tubuh ku hingga ku terbangun.Ternyata, seseorang
itu adalah ustadzah yang selalu memberi ku motivasi.
“Qyara mengapa
kamu tidur di sini, ini kan tempat ibadah nak.?”Tanya ustadzah dengan memegang
kedua pundakku.
“Emm….maaf ustadzah, Qyara bukan bermaksud untuk tidur di sini.’jawab ku walaupun
ku sedikit tersontak kaget.
“Minta maaf itu bukan karna ustadzah, tapi karna Allah! ayo kembali ambil air
wudhu.”Ucap ustadzah sambil menutup al-quran ku yang terbuka.
“Baik ustadzah.”jawab ku dengan logat sedikit
malas. Saat ku kembali ke dalam masjid ,aku sangat terkesan dan sedikit heran
dengan ustadzah yang melantunkan ayat-ayat Allah dengan suara yang sangat
merdu. Apalagi dengan keadaan masjid yang sedang kosong hingga suara terdengar
mengema.
“Subhanallah indah sekali lantunan ayat yang
di bacakan ustadzah itu.”ucap ku dengan rasa kagum. Kemudian ustadzah menoleh
ke arah ku ,lalu bertanya.
“Qyara mengapa kamu terdiam di situ.”Tanya
ustadzah dengan raut wajah sedikit binggung. “he he … tidak apa-apa
ustadzah.”jawab ku. ”ya sudah ayo baca kembali Al-qurannya sebelum adzan subuh
berkumandang”. ajak ustadzah dengan tutur lembutnya. Sembari ku membaca
Al-quran,terpintas dalam benak ku dengan sedikit binggung. sejauh ini aku sudah sedikit akrab denganya ,tetapi satu, ku
belum tau siapa nama beliau.ku baru menyadari itu.Dengan memberanikan
diri,akhirnya ku memanggilnya dengan suara pelan.Dan ustadzah pun hanya
mengedipkan matanya. Aku paham akan maksudya,karna beliau belum menyelesaikan
bacaan qurannya.Selang beberapa menit ku menuggu. Dan akhirnya beliau
mengucapkan.
“Shodaqallaahuladziim……”sembari
menghela nafas ustadzah melontarkan pertanyaan padaku . “Ada apa nak Qyara.?”Tanya ustadzah dengan nada tenang . “Emm… sebenernya nama ustadzah ini
siapa.?”Tanya ku dengan sedikit malu. ”Loh, jadi selama ini kamu belum tau nama
ustadzah ini siapa..? padahalkan ustadzah sudah memperkenalkan diri saat pekan
perkenalan…”
“iya ustadzah, ketika itu Qyara tidak terlalu
memperhatikan.”ucap ku dengan jujur. “jadi … nama ustadzah itu Laila Syarifa
,panggil saja ustadzah Laila.” Jelas
ustadzah.
Ketika aku dan
ustadzah Laila sedang beradu pandang, mulai terdengar suara azan
bekumandang dari kejauhan. Adzan subuh
yang menghantarkan para santri menuju masjid untuk menunaikan sholat subuh.
Selesainya sholat subuh ,kami melakukan piket yang sudah menjadi aktivitas
sehari-hari. Kemudian barulah kami melakukan kegiatan pribadi kami serta
melakukan persiapan untuk berangkat ke sekolah. Dengan mengucap “BISMILLAH.”
Aku dan teman-teman ku berangkat menuju ke sekolah. Tak sabar rasanya untuk
mendapat ilmu baru dalam pesantren.Tetapi,sesampainya di sekolah aku kecewa
karna sudah hampir dua jam tidak ada satu pun guru yang masuk ke kelas.Padahal
waktu itu masih hari pertama masuk sekolah. Hingga akhirnya, rasa semangatku
menjadi luntur untuk belajar.Ketika ku sedang duduk terdiam dalam rasa
kekesalan dan penuh kejenuhan.Datanglah salah satu teman ku menghampiri diriku ia bernama Zakira.ia
berjalan menuju arah tempat duduk ku dengan senyum manisnya.
”Qyara!”panggil
Zakira dengan nada semangat.
“iya,kenapa?.”jawab ku . “how are you? Why you look very sad.?tanya zakira.
“aku baik-baik saja.”jawab ku dengan nada santai.
“benarkah.? mimik muka itu tidak bisa di bohongi.”kata zakira dengkan kata
sedikit meledek. dengan bujuk rayunya Zakira akhirnya aku pun berkata jujur.
”sebenarnya aku tidak betah menuntut ilmu di pesantren ini.
”Ooo ..jadi itu alasan mu . memang segala sesuatu yang baik itu susah,dan berat
untuk kita jalani tapi lakukanlah semua hanya karna Allah ,insyaallah kamu di
mudahkan olehnya ”lalu kamu sendiri bagaimana.” ”sebenarnya sama saja seperti kamu
tetapi aku tetap teguh dalam pendirian hanya satu satu tekad utama ku yakni aku
ingin menjadi seorang hafidzoh.”
“hah.! Hafidzoh apaantu?.”Tanya ku dengan nada serontak.
“menjadi hafidzoh itu adalah seseorang yang menghafal ayat-ayat Allah tetapi
tidak hanya mengahafal, tapi juga mengamalkannya.”
“memang seorang hafidzoh itu bisa jadi apa.?”tanyaku dengan penasaran. “bisa
jadi apa saja yang kamu inginkan selagi itu masih dalam syariat agama atau
untuk hal-hal yang positif.”
“kalau aku yang memiliki
keinginan untuk menjadi dokter lantas,memang hafidzoh bisa menjamin semuanya.?”
“Bisa.”jawab zakira dengan nada pasti lagi
meyakinkan. “Memangnya tidak ada keinginan
lain selain menjadi seorang hafidzoh.?”
“kalau keinginan itu sangat
banyak .tetapi satu tekad pertama ku yakni menjadi seorang hafidzoh. Cita-cita
yang ku impikan adalah menjadi seorang dokter yang syar’i .”
“jadi dokter, tetapi mengapa
kamu lebih mengutamakan menjadi seorang hafidzoh.?” Zakira terdiam sejenak
.kemudian ia hanya menjawab dengan kalimat singkat nya .”suatu saat kamu akan mengerti apa makna dari seorang yang berjuang
menghafal Al-quran. Aku menjadi semakin
binggung dengan semua perkataanya.
Hari demi hari
ku lewati,Ketika itu, hanya kesunyian malam yang menemani ku. Karena, entah
mengapa aku tidak dapat tidur malam itu. Aku hanya memandangi langit-langit
asramaku. Teringat akan perbincangan ku dengan zakira waktu itu. Sudah banyak
sang motivator yang membahas tentang hafidzoh (para penghafal Al-quran) kala
aku mengikuti kegiatan seminar ke sekian
kalinya yang bertemakan keagamaan. Bahkan ada seorang pendeta mualaf yang
menjadi seorang hafidzh.Tidak hanya sekedar itu saja,ternyata banyak juga yang
menjadi multitalent,seperti seorang hafidzh yang menjadi dokter.Semalaman aku hanya memikirkan hal
itu. Kini aku yang semakin percaya betapa istimewanya seorang pejuang penghafal
Al-quran. Orang tua ku yang selalu memberi dorongan kepadaku untuk terus semangat dalam belajar. Disamping
itu juga, aku sangat bangga dengan hadirnya seorang ustadzah dan teman yang
bisa memberi cahaya untuk hidupku. Hingga ku sadar ternyata ukhuwah dalam
pesantren itu benar-benar terjaga.Aku sangat bersyukur karna Allah masih
memberikan ku kesempatan untuk menjadi yang lebih baik.Hingga pada
akhirnya, aku memutuskan tekad awal ku
untuk menjadi seorang hafidzoh.Perlahan-lahan aku memulai menabung untuk
menghafal .
Pagi di sekolah
sebelum pelajaran di mulai aku selipkan sedikit hafalan meski hanya satu ayat
atau dua ayat.Lalu,dalam pengulasan hafalan terkadang aku dan zakira bergantian untuk saling simak-menyimak.Kita
berdua yang sekarang memiliki tekad sama
untuk menjadi seorang dokter dan hafidzoh. Kami lakukan itu semua dengan sabar serta ikhlas.Meski
terkadang terbesit kata menyerah dalam benakku.Bahkan sempat aku dan zakira di
jauhi oleh teman-teman yang lain karna kita yang selalu berdua .Mungkin belum
semua temanku faham akan arti sebuah persahabatan. Tapi aku dan zakira tetap
yakin bahwa Allah itu akan mendengar do’a dari seorang hambanya yang memiliki
niat baik dan penuh kesungguhan . Orang yang saat ini menjadi tameng bagiku
tidak hanya zakira dan ustadzah Laila saja di pesantren. Tapi aku lebih percaya
dengan perlindungan serta pertolongan
dari Allah SWT.
Mungkin, Allah
memberi petunjuk padaku lewat prantara mereka dan orangtua. Ustadzah Laila yang
selalu menasehati aku dan Zakira.Waktu itu beliau mengatakan,”hiraukanlah semua
hal yang hanya membuat keyakinanmu menjadi rusak”. walaupun hanya sepatah dua
patah kata nasihat yang beliau berikan ,semangatku dan zakira menjadi semakin
terus bertambah dan terus berkobar.
Tiga tahun yang
akan terlewati tidak terasa bila akhirnya, kami pun akan berpisah dari pondok pesantren yang kami
cintai.Perpisahan ini tidak akan aku lupakan. Dalam khutbah terakhirku,aku
hanya memberi pesan-pesan indah untuk naungan suci ini.”terima kasih untuk
semua yang sudah mensuport aku hingga kini saatnya kita harus berpisah , untuk
teman-teman ustadz dan ustadzah atas ilmu yang kau ajarkan padaku,dan untuk
orangtuaku entah apalagi yang harus aku katakana selain kata terima kasih.”
Tangisan air mataku di kala itu menjadi tanda kepedihan hatiku .Karna tuk
melepas kepergian sahabat dan guru yang tak pernah bosan untuk menegurku ketika
aku dalam jalan yang salah. Aku berjanji tidak akan
melupakan naungan suci ini.Karna naungan inilah yang menjadi saksi bisuku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar