HIDAYAH YANG TERBENDUNG
Sudah menjadi kebiasaan sang guru mengaji berkeliling dari
tiyuh ke tiyuh lain, dengan kacamata minus mengendarai sepeda tua yang
nyaman ia gunakan. Dengan penuh semangat dan harapan ia jalani tugas itu
bertahun-tahun tanpa mengenal lelah sedikitpun. Lembah dan ngarai, jalan terjal
dan berlumpur terkadang ia lewati dengan sabar, terkadang pula ia telusuri
bukit kecil dan perkebunan hal yang biasa, sesekali ia berucap dengan kalimat
yang menakjubkan. Ketika lelah menghampirinya ia sandarkan sepeda tuanya
ditepi perkebunan yang agak rimbun dekat bukit kecil yang konon ada sejarah
unik di tempat itu. Ia hanya menatap sesekali bukit itu tanpa harus menguras
pikiran untuk merenungkan apa karomah bukit itu. Yang jelas ia percaya di
Tulang Bawang Barat banyak kisah unik pada zaman sejarah maupun prasejarah,
sang guru mengaji cukup senang dan merasa nikmat dan nyaman tinggal di daerah
tersebut, penduduk yang hetrogen dengan pendatang dari berbagai pelosok tanah
air tidak mengusuik ketenagannya bahkan ia cukup bangga dengan kehadiran
saudara saudara nya, terkadang ia bertukar fikir dan pengalaman dari segala
sisi, sehingga ada peradaban baru.
Saat ia istirrahat sejenak ia lihat seorang paruh baya
bersandar di sebuah pohon tatkala dhuha menjelang, sambil menghela nafas
panjang dengan tatapan mata yang kosong kearah yang tiada batas. Terkadang ia
sentuh kerikil kecil sambil ia lemparkan di bagian tepi rawa yang agak
terlihat keruh. Sang guru tidak tahu apa yang terbesit dan yang dipikirkannya,
sepertinya ia cemas dengan dirinya dan lingkungan yang ia hadapi. Mentaripun
mulai bergeser hingga terasa panas menyengat tubuh yang terlihat kusut tanpa
harapan hidup yang menentu. Sejenak kemudian ia berdiri sambil membawa kayu
kecil ia pukulkan pada dahan-dahan kecil sekitarnya. Tak lama kemudian
sampailah ia pada sebuah gubuk kecil yang terbuat dari kayu gelam dan bambu
yang beratapkan ilalang yang mulai tampak rapuh. Mungkin gubuk itu cukup
berusia dan agak kurang terawat. Di depan gubuk tua itu tampaklah kayu
bulat yang terpotong pendek sepertinya sudah dipersiapkan sebelumnya
hingga si tua itu merebahkan badannya dengan menyandarkan kepalanya di
bawah pohon yang rimbun untuk menutupi sengatan sinar matahari .
terkadang ditutup matanya dengan tangan yang agak kurus sepertinya
terasa kantukpun tiba sehingga ia tak mampu lagi menahannya. mimpi panjangpun
berlalu karena tertidur lelap seperti tanpa beban saat berbaring di
atas pelepah daun kelapa kering itu, dengan beralasankan kayu yang mengganjal
di kepalanya. Saat terbangun ia gerakaan sebagian organ tubuhnya sambil menoleh
ke kanan dan kekiri terkadang menengadah ke atas menatap matahri yang mulai
menyingsing. Di samping gubuk tampak seperti bergantung sesuatu, mungkin itu
adalah bingkisan yang dipersiapkan oleh istrinya untuk bekal di kebun seharian.
Sang guru ngaji seusai ia jalani sholat dhuhur dekat kampung itu ia kembali dan
ia memperhatikan terus apa yang dilakukan si tua tadi, akan tetapi ia tidak
tahu dengan pasti keadaan hatinya yang sebenarnya nampak sekali dari raut
wajahnya terasa cemas dan hilang asa yang tak berkesudahan, padahal tatkala
dhuhur tiba tak sedikitpun tergugah hatinya untuk segera mengambil air wudhu
mensucikan hatinya yang kotor melalui organ tubuhnya mulai rapuh itu.
Saat senja mulai tiba bergegaslah ia untuk meninggalkan
lahan yang ia tunggu, tak mengenal lelah dan letih selayaknya para petani,
tetap jalan dengan harapan yang kurang pasti atau lainya, yang
jelas belum tercapai apa yang menjadi maksudnya selama ini. Sebilah sabit
di tangan kiri dan cangkul berada dipundaknya mengiringi perjalanan yang tidak jauh
dari rumah nya. Di celah-celah perkebunan ada jalan setapak panjang menuju
kampungnya, itulah jalan yang ia lalui setiap harinya, sehingga banyak orang
mengenal bahkan tak satupun yang dilaluinya itu tak mengenalnya, akan tetapi
setiap orang yang dilaluinya hanya melihat ada yang menaruh belas kasihan,
berbagai ekpresi teruangkap dari raut wajah penduduk di kampung bahkan ada yang
tidak memberikan perhatian terkesan membiarkan ia berlalu begitu saja.
Subhanalloh ternyata ia tinggal disebuah rumah ya mungkin yang paling
besar diantara rumah-rumah tetangga yang mengitarinya. Ketika sang guru mengaji
hendak pulang ia cari tahu keadaan si petani tadi, sambil ia menuju pulang,
tampak jelas alamat yang ditujusSaat itulah ia berfikir apa yang di cari dari
dirinya yang selama ini memaksakan hidup untuk mengais rizki itu. Sesampai di
depan rumah tampak dua pemuda yang sedang asyik membersihkan kendaraan.
Kebetulan sang guru hampir bersamaan dengan datangnya sang petani petani,
begitu ia lihat tanpa menggubris bahwa ayahnya telah datang dari peladangan.
Anehnya lagi anak yang sepertinya sudah dewasa itu itu tidak sedikitpun menoleh
ke orang tuanya apalagi menyapanya. Ada yang salah mungkin dari ini semuanya,
akan tetapi belum tahu dengan pasti penyebab itu semua.
Terdengar sayup-sayup di tengah desa suara kalam dari
menara masjid, sementara kedua remaja putra situa tadi belum beranjak dari
tempat ia membersihkan kendaraannya, sepertinya sangat asyik dengan pekerjaan
itu. Terkadang nampak wajah seorang ibu keluar dari baik pintu sambil melihat
kedua anaknya namun tak sedikitipun kata keluar dari kedua bibir nya bahkan
terkesan mendiamkannya tanpa beban sedikitpun yang ada pada dirinya. Kumandang
magrib pun tiba, masya Alloh sepertinya tidak sedikitpun tertarik hatinya
dengan suara yang memanggilnya , padahal kalam itu berawal dengan Allohu
akbar….Alloh Maha Besar. Haripun berlalu keadaan pun berubah dan suasana mulai
nampak berbeda, pak tua yang biasa berangkat menelusuri lorong-lorong pedesaan
tak tampak lagi, sehingga orang di sekitar kampung selalu bertanya, kemana pada
Dullah ini …..? oh ternyata ia bernama paka Dullah. mulailah sang guru ngaji
mengerti siapa nama orang tua itu. Di lain tempat ada yang
mengumbar suara agak sinis “ Apa udah mati Dullah itu ?
sang guru tak mengerti mengapa tak satupun yang berkata baik masyarakat
di kampung itu. Tetapi yang jelas menurutnya ada sifat yang kurang mulya
sehingga semua berkomentar yang tak sedap dirasa. Dosa rasanya jika aku cari
tahu tentang dirinya” guman sang gur dalam hatinya, akan tetapi ia jadi
penasaran jika tak mengetahui penyebab kebencian masyarakat pada keluarga itu.
Tak lama ia cari tahuy ternyata pak Dullah sakit karas, dalam hati sang guru
terasa kasihan dengannya karena tak satupun orang yang iba kepadanya . akhirnya
ia beranikan diri untuk menengok pak Dullah yang sakit berhari hari tanpa kabar
apa yang dideritanya. Hari itu usai sholat Ashar ia pastikan ada keluarga di
rumah itu, tanpa ragu dan iapun tidak menghiraukan lagi pandangan orang yang
tak tahu berapa jumlah mata yang menatapnya, seolah meraka berkata “ biarkan
saja dia mati, nanti biar dikubur anak nya sendiri “ itulah suara meraka
meskipun tak terdengar dalam telinganya tapi ia mendengar dalam batinnya.
Sesampai di depan rumah yang berpagar tembok kokoh dan berdinding warna orange
ia gerakkan pagar teralis rumahnya tak lama keluarlah satu pemuda sambil
berakat cetus seprtinya “ ada apa pak ? padahal salampun belum ia ucapkan sudah
disambut dengan kalimat ya menurut orang umumnya agak aneh, tapi tak mengapalah
karena sang guru berniat baik bukan sekedar mau main tanpa arti. Sesampainya di
depan pintu ia sampaikan “ assalamu’alaikum ? seorang ibu keluar yang
sepertinya kurang berkenan dengan kehadirannya Dalam batin sang guru
berdo’a “ ya Alloh aku ingin sekali bertemu dengan pak Dullah semoga
pertemuan yang singkat ada makna baginya”. Alhamdulillah ia dipersilahkan masuk
di langsung melihat pak Dullah. Ia tampak berbaring lemas, kulit tubuhnya yang
nampak keriput dan hitam telah membalut tubuhnya, bau kurang sedapun terasa
dari ranjang tidurnya. Sesaat kemudian salah satu pemuda bagian dari kedua
putra mengambilkan kursi plasik yang agak usang, lalu sang guru
duduk di atasnya sambil mendekati kepala pak Dullah. Sang guru
mencoba memegang bagian tangan kananya yang tinggal tulang yang terbalut
kulit, terkadang sang guru membisikkan dan ia letakkan mulutnya pada
telinga dan ia bisikan “ banyak beristighfar ya pak, tidak ada lagi yang mampu
menyembuhkan selain Dia yang Maha Pemberi Kesembuhan”. Pak Dullah terlihat
gelisah ia hanya berlinang air mata yang sempat mengalir membasahi pipinya yang
menua itu. Tak lama kemudian sang guru panggil kedua anak nya dan istrinya,
saat itu ia hanya berpesan “ jagalah ia baik baik, jangan tinggalkan ia
sendirian turuti apa yang menjadi keinginannya “pesan sang guru, namun
kedua anaknya dan istrinya sepertinya tidak menaruh sedikitpun rasa sesal dan
iba bahkan terkesan membiarkanya. Lama sang guru tak berkunjung, beberapa hari
kemudian terdengar dari beberapa tetangga bahwa paka Dullah telah meninggal.
Bergegaslah ia kesana untuk bertakziah, sepanjang jalan ia mengajak setiap
orang yang dilaluinya akan tetapi tak satupun menghiraukanya. Sesaat ia
berjalan di sebuah kerumunan orang ia ajak meraka “ pak takziah yok “ mereka
menjawab “ untuk apa takziah , biar berangkat sendiri saja kekuburan . sang
guru menggelengkan kepala tapi tak ada salah mereka begitu itu, karena itu hak
mereka.
Seampainya di rumah almarhum pak Dullah tak Nampak anak dan
istri sedih sebagaimana layaknya manusia bahkan ada yang sempat dari
salah satu anaknya mau pergi entah kemana arahnya, yang jelas tidak mau
mengurus keadaan ayahnya yang telah tiada. Bebarapa orang yang hadirpun
menyiapkan sarana seadanya dari mulai untuk memandiukan, mengkafani hingga
menyolati, sepertinya tak begitu banyak yang bertakziah, sang guru lihat yang
memnadikan sekitar tujuh orang saja sementara anak dan istrinya hanya duduk
duduk di beranda depan sambil memegang alat komunikasi, “ astaghfirullohaladzim
” …berkata sang guru dalam batinnya. Sesaat jenazah selesai di mandikan
kemudian dibungkus dengan kain kafan seadanya, dan ada tiga bersama satu
orang imam yang menyolatinya. Seusai sholat datanglah ambulan untuk membawa
jenazah, sebenarnya makam tak jauh , mungkin karena berharta itu akhirnya di
bawa ambulan. Selesailah sudah urusan jenazah termasuk di pemakaman. Setelah
itu sang guru mencoba untuk singgah kerumah ibu Dullah mungikn ada yang
disampaikan siapa tahu untuk kelangsungan nya sesuai dengan tradisi
yang berjalan di kampung. Ia berjalan agak dipercepat takut bertemu
dengan waktu dhuhur sehingga sempat untuk berjamaah nantinya. Bebarap menit
kemudian sampailah sang guru di halaman rumah, namun ketika mendekati pintu
rumahnya terdengar keributan yang sepertinya sangat serius. Ada di antara salah
satu dari anaknya berkata keras “ pokoknya warisan saya harus lebih banyak” ibu
nya menjerit dengan sesak sambil menangis “ nak ayahmu baru saja dikubur nanti
kalau sudah seminggu atau empat puluh hari” ibu pemuda itu menyampaikan.
“saya tidak mau tahu “ tukas anaknya. Terjadilah pertengkaran yang sangat
sengit dan dan berbicara yang tidak terarah lagi , tidak lagi dengan akal
sadarnya..sampai-sampai salah satu anak terdengar membenatak ibu nya “ pergi
ibu dari rumah ini kalau enggak saya bunuh nanti “. saat itu sang guru agak
kebingungan “mau masuk bagaimana, mau tinggal diam sepertinya perlu penengah
dalam masalah ini” uangkap hatinya ,akhirnya ia beranikan diri “
Assalamu’alaikum , ….tak satupun menjawab akan tetapi pertengkaran sudah mulau
surut tak lagi ada suara keras, kemudian keluarlah seorang ibu sambil isak
tangis yang ditahan dan mata yang masih memerah karena mungkin tangisan yang
tak terbendung tadi. Kemudian sang guru beranikan diri untuk bertanya kepada ibu
“ Bu bagaimana acara salanjutnya ada acara tidak nanti malam atau hari
berikutnya ? ‘ Tanya sang guru, seperinya ibu itu masih bingung , akhirnya sang
gurupun berkata lebih awal dari nya “ baiklah jika tidak ada acara lainya tidak
apa, yang penting ibu dan keluarga mendokan yang sudah meningal.
Beberapa hari kemudian salah satu dari anak nya yang lebih
tua datang dengan membawa sebingkis apa kurang faham , sepertinya gula , ia
mencurahkan isi hatinya tentang bagaimana membagi warisan setelah orang tua
tidak ada “Pak guru, bapak saya meninggalkan harta berupa kebun,
sawah,kenadaraan, rumah dan kami bersama ibu dan kakak” , tukasnya sambil
percaya diri dan tak merasa sedih apalagi merasa berdosa . “ nanti saja
dulu,sabar kalau sudah agak lama ,tanah bapak mu saja belum kering sudah
membicarakan warisan, “.kata sang guru .” Saya takut pak nanti semua di jual
oleh kakak saya . jawab pemuda . “ baiklah nanti kalian datang bersama kakak
dan ibumu kemari.
Keesokan harinya ketika waktu dhuha datanglah mereka
berduyun duyun dengan kendaraan warna putih metalik di depan rumah.
Setelah berhenti kendaraan, mereka turun ada yang sedih terutama
ibu namun ada tertawa girang yaitu kedua putranya, langsung saja sang guru
sambut dan ia persilah kan masuk ke dalam gubuknya. Setelah duduk tanpa basi
basi langsung ia sampaikan kepada meraka, “ Bapak telah tiada , bapak
meninggalkan harta yang tidak sedikit, mungkin di antara kalian ada yang ingin
segera mendapat warisan apa begitu “Tanya sang guru bener pak”,jawab
salah satu dari kedua pemuda itu, baiklah, kata sang guru “ ada tiga cara
menyelsaikan warisan, yang pertama dengan cara agama , kedua dengan cara negara
dan yang ketiga dengan cara kekeluargaan, syukur hal ini dapat selesai dengan
keluargaan tanpa satu pun terlibat kecuali hanya keluarga saja” kata sang
guru. “ mana yang lebih baik pak ? tanya mereka tentu dengan cara hukum agama
karena itu hokum Alloh yaitu alqur’an “. bagaimana membaginya pak ? mereka sepertinya
mendesak dan antusias. Kalau kalian setuju dengan agama saya hitungkan sesuai
dengan ilmu faroidh yang telah ditentukan Alloh. Setelah dihitung dan bagi
masing-masing harta kedua anak tersebut tidak terima dan akhirnya pulang,
keesokan harinya mereka pun datang untuk menyelsaikan dengan cara negara,
merekapun ada yang tidak terima. Seusai magrib sang guru datang kerumah meraka
dan dikupulkan di ruang tamu, ia sampaikan panjang lebar, namun tetap mereka
tidak terima dengan semua itu. Tanpa disadari sang guru mengambil tas dan
mengeluarkan sebilah pisau yang tajam….” Berebutlah kalian dengan pisau ini
siapa yang dapat itu yang mengusai” tegas guru akhirnya mereka tertunduk
terdiam , dan sang gur meninggalkan meraka
Hati yang mati tak pernah merasa puas uurusan duniawi…….
Hati yang mati akan selalu iri dan timbul dengki
Hati yang mati tak mau sujud pada Illahi
Hati yang mati hanya berangan angan menggapai duniawi
Hati yang mati tak tergugah untuk panggilan Illahy
Hati yang mati tak memiliki rasa peduli
Hati yang mati
tak pernah sadar bahwa dirinya akan jemput mati …….
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar