SELAMAT DATANG DI RUMAH ONLINE SYAHID MUJIBUR ROHMAN EL FURQONI

Rabu, 07 November 2018

Hidayah Yang Terbendung (Muhyiddin Pardi)


HIDAYAH YANG TERBENDUNG
           



Sudah menjadi kebiasaan sang guru mengaji berkeliling dari tiyuh ke tiyuh  lain, dengan kacamata minus mengendarai sepeda tua yang nyaman ia gunakan. Dengan penuh semangat dan harapan ia jalani tugas itu bertahun-tahun tanpa mengenal lelah sedikitpun. Lembah dan ngarai, jalan terjal dan berlumpur terkadang ia lewati dengan sabar, terkadang pula ia telusuri bukit kecil dan perkebunan hal yang biasa, sesekali ia berucap dengan kalimat yang menakjubkan. Ketika lelah menghampirinya  ia sandarkan sepeda tuanya ditepi perkebunan yang agak rimbun dekat bukit kecil yang konon ada sejarah unik di tempat itu. Ia hanya menatap sesekali bukit itu tanpa harus menguras pikiran untuk merenungkan apa karomah bukit itu. Yang jelas ia percaya di Tulang Bawang Barat banyak kisah unik pada zaman sejarah maupun prasejarah, sang guru mengaji cukup senang dan merasa nikmat dan nyaman tinggal di daerah tersebut, penduduk yang hetrogen dengan pendatang dari berbagai pelosok tanah air tidak mengusuik ketenagannya bahkan ia cukup bangga dengan kehadiran saudara saudara nya, terkadang ia bertukar fikir dan pengalaman dari segala sisi, sehingga ada peradaban baru. 
Saat ia istirrahat sejenak ia lihat seorang paruh baya bersandar di sebuah pohon tatkala dhuha menjelang, sambil menghela nafas panjang dengan tatapan mata yang kosong kearah yang tiada batas. Terkadang ia sentuh kerikil kecil  sambil ia lemparkan di bagian tepi rawa yang agak terlihat keruh. Sang guru tidak tahu apa yang terbesit dan yang dipikirkannya, sepertinya ia cemas dengan dirinya dan lingkungan yang ia hadapi. Mentaripun mulai bergeser hingga terasa panas menyengat tubuh yang terlihat kusut tanpa harapan hidup yang menentu. Sejenak kemudian ia berdiri sambil membawa kayu kecil ia pukulkan pada dahan-dahan kecil sekitarnya. Tak lama kemudian sampailah ia pada sebuah gubuk kecil yang terbuat dari kayu gelam dan bambu yang beratapkan ilalang yang mulai tampak rapuh. Mungkin gubuk itu cukup berusia  dan agak kurang terawat. Di depan gubuk tua itu tampaklah kayu bulat yang terpotong pendek sepertinya sudah dipersiapkan sebelumnya  hingga si tua itu merebahkan badannya dengan menyandarkan kepalanya di bawah pohon yang rimbun untuk menutupi sengatan sinar matahari .  terkadang ditutup matanya dengan tangan  yang agak kurus sepertinya  terasa kantukpun tiba sehingga ia tak mampu lagi menahannya. mimpi panjangpun berlalu karena tertidur lelap  seperti  tanpa beban saat berbaring di atas pelepah daun kelapa kering itu, dengan beralasankan kayu yang mengganjal di kepalanya. Saat terbangun ia gerakaan sebagian organ tubuhnya sambil menoleh ke kanan dan kekiri terkadang menengadah ke atas menatap matahri yang mulai menyingsing. Di samping gubuk tampak seperti bergantung sesuatu, mungkin itu adalah bingkisan yang dipersiapkan oleh istrinya untuk bekal di kebun seharian. Sang guru ngaji seusai ia jalani sholat dhuhur dekat kampung itu ia kembali dan ia memperhatikan terus apa yang dilakukan si tua tadi, akan tetapi ia tidak tahu dengan pasti keadaan hatinya yang sebenarnya nampak sekali dari raut wajahnya terasa cemas dan hilang asa yang tak berkesudahan, padahal tatkala dhuhur tiba tak sedikitpun tergugah hatinya untuk segera mengambil air wudhu mensucikan hatinya yang kotor melalui organ tubuhnya mulai rapuh itu.
Saat senja mulai tiba bergegaslah ia untuk meninggalkan lahan yang ia tunggu, tak mengenal lelah dan letih selayaknya para petani, tetap jalan dengan harapan yang kurang pasti atau lainya,  yang jelas  belum tercapai apa yang menjadi maksudnya selama ini. Sebilah sabit di tangan kiri dan cangkul berada dipundaknya mengiringi perjalanan yang tidak jauh dari rumah nya. Di celah-celah perkebunan ada jalan setapak panjang menuju kampungnya, itulah jalan yang ia lalui setiap harinya, sehingga banyak orang mengenal bahkan tak satupun yang dilaluinya itu tak mengenalnya, akan tetapi setiap orang yang dilaluinya hanya melihat ada yang menaruh belas kasihan, berbagai ekpresi teruangkap dari raut wajah penduduk di kampung bahkan ada yang tidak memberikan perhatian terkesan membiarkan ia berlalu begitu saja. Subhanalloh ternyata ia tinggal disebuah rumah ya mungkin yang  paling besar diantara rumah-rumah tetangga yang mengitarinya. Ketika sang guru mengaji hendak pulang ia cari tahu keadaan si petani tadi, sambil ia menuju pulang, tampak jelas alamat yang ditujusSaat itulah ia berfikir apa yang di cari dari dirinya yang selama ini memaksakan hidup untuk mengais rizki itu. Sesampai di depan rumah tampak dua pemuda yang sedang asyik membersihkan kendaraan. Kebetulan sang guru hampir bersamaan dengan datangnya sang petani petani, begitu ia lihat tanpa menggubris bahwa ayahnya telah datang dari peladangan. Anehnya lagi anak yang sepertinya sudah dewasa itu itu tidak sedikitpun menoleh ke orang tuanya apalagi menyapanya. Ada yang salah mungkin dari ini semuanya, akan tetapi belum tahu dengan pasti penyebab itu semua.
Terdengar sayup-sayup di tengah desa suara kalam dari menara masjid, sementara kedua remaja putra situa tadi belum beranjak dari tempat ia membersihkan kendaraannya, sepertinya sangat asyik dengan pekerjaan itu. Terkadang nampak wajah seorang ibu keluar dari baik pintu sambil melihat kedua anaknya namun tak sedikitipun kata keluar dari kedua bibir nya bahkan terkesan mendiamkannya tanpa beban sedikitpun yang ada pada dirinya. Kumandang magrib pun tiba, masya Alloh sepertinya tidak sedikitpun tertarik hatinya dengan suara yang memanggilnya , padahal kalam itu berawal dengan Allohu akbar….Alloh Maha Besar. Haripun berlalu keadaan pun berubah dan suasana mulai nampak berbeda, pak tua yang biasa berangkat menelusuri lorong-lorong pedesaan tak tampak lagi, sehingga orang di sekitar kampung selalu bertanya, kemana pada Dullah ini …..? oh ternyata ia bernama paka Dullah. mulailah sang guru ngaji  mengerti siapa nama orang tua itu. Di lain tempat  ada yang mengumbar suara agak sinis  “ Apa udah mati Dullah itu  ?   sang guru  tak mengerti mengapa tak satupun yang berkata baik masyarakat di kampung itu. Tetapi yang jelas menurutnya ada sifat yang kurang mulya sehingga semua berkomentar yang tak sedap dirasa. Dosa rasanya jika aku cari tahu tentang dirinya” guman sang gur dalam hatinya, akan tetapi ia  jadi penasaran jika tak mengetahui penyebab kebencian masyarakat pada keluarga itu. Tak lama ia cari tahuy ternyata pak Dullah sakit karas, dalam hati sang guru  terasa kasihan dengannya karena tak satupun orang yang iba kepadanya . akhirnya ia beranikan diri untuk menengok pak Dullah yang sakit berhari hari tanpa kabar apa yang dideritanya. Hari itu usai sholat Ashar ia pastikan ada keluarga di rumah itu, tanpa ragu dan iapun tidak menghiraukan lagi pandangan orang yang tak tahu berapa jumlah mata yang menatapnya, seolah meraka berkata “ biarkan saja dia mati, nanti biar dikubur anak  nya sendiri “ itulah suara meraka meskipun tak terdengar dalam telinganya tapi ia mendengar dalam batinnya. Sesampai di depan rumah yang berpagar tembok kokoh dan berdinding warna orange ia gerakkan pagar teralis rumahnya tak lama keluarlah satu pemuda sambil berakat cetus seprtinya “ ada apa pak ? padahal salampun belum ia ucapkan sudah disambut dengan kalimat ya menurut orang umumnya agak aneh, tapi tak mengapalah karena sang guru berniat baik bukan sekedar mau main tanpa arti. Sesampainya di depan pintu ia sampaikan “ assalamu’alaikum ? seorang ibu keluar yang sepertinya kurang berkenan dengan kehadirannya Dalam batin sang guru  berdo’a “ ya Alloh aku ingin sekali bertemu dengan pak Dullah semoga pertemuan yang singkat ada makna baginya”. Alhamdulillah ia dipersilahkan masuk di langsung melihat pak Dullah. Ia tampak berbaring lemas, kulit tubuhnya yang nampak keriput dan hitam telah membalut tubuhnya, bau kurang sedapun terasa dari ranjang tidurnya. Sesaat kemudian salah satu pemuda bagian dari kedua putra mengambilkan  kursi plasik yang agak usang, lalu sang guru  duduk di atasnya sambil mendekati kepala pak Dullah. Sang guru  mencoba memegang bagian tangan kananya yang tinggal tulang yang terbalut kulit, terkadang sang guru membisikkan dan ia  letakkan mulutnya pada telinga dan ia bisikan “ banyak beristighfar ya pak, tidak ada lagi yang mampu menyembuhkan selain Dia yang Maha Pemberi Kesembuhan”. Pak Dullah terlihat gelisah ia hanya berlinang air mata yang sempat mengalir membasahi pipinya yang menua itu. Tak lama kemudian sang guru panggil kedua anak nya dan istrinya, saat itu ia hanya berpesan “ jagalah ia baik baik, jangan tinggalkan ia sendirian turuti apa yang menjadi keinginannya “pesan sang guru,  namun kedua anaknya dan istrinya sepertinya tidak menaruh sedikitpun rasa sesal dan iba bahkan terkesan membiarkanya. Lama sang guru tak berkunjung, beberapa hari kemudian terdengar dari beberapa tetangga bahwa paka Dullah telah meninggal. Bergegaslah ia kesana untuk bertakziah, sepanjang jalan ia mengajak setiap orang yang dilaluinya akan tetapi tak satupun menghiraukanya. Sesaat ia berjalan di sebuah kerumunan orang ia  ajak meraka “ pak takziah yok “ mereka menjawab “ untuk apa takziah , biar berangkat sendiri saja kekuburan . sang guru menggelengkan kepala tapi tak ada salah mereka begitu itu, karena itu hak mereka.
Seampainya di rumah almarhum pak Dullah tak Nampak anak dan istri sedih sebagaimana layaknya manusia bahkan ada yang sempat  dari salah satu anaknya mau pergi entah kemana arahnya, yang jelas tidak mau mengurus keadaan ayahnya yang telah tiada. Bebarapa orang yang hadirpun menyiapkan sarana seadanya dari mulai untuk memandiukan, mengkafani hingga menyolati, sepertinya tak begitu banyak yang bertakziah, sang guru lihat yang memnadikan sekitar tujuh orang saja sementara anak dan istrinya hanya duduk duduk di beranda depan sambil memegang alat komunikasi, “ astaghfirullohaladzim ” …berkata  sang guru dalam batinnya. Sesaat jenazah selesai di mandikan kemudian dibungkus dengan kain kafan seadanya, dan ada tiga  bersama satu orang imam yang menyolatinya. Seusai sholat datanglah ambulan untuk membawa jenazah, sebenarnya makam tak jauh , mungkin karena berharta itu akhirnya di bawa ambulan. Selesailah sudah urusan jenazah termasuk di pemakaman. Setelah itu sang guru  mencoba untuk singgah kerumah ibu Dullah mungikn ada yang disampaikan   siapa tahu untuk kelangsungan nya sesuai dengan tradisi yang berjalan di kampung. Ia berjalan  agak dipercepat takut bertemu dengan waktu dhuhur sehingga sempat untuk berjamaah nantinya. Bebarap menit kemudian sampailah sang guru di halaman rumah, namun ketika mendekati pintu rumahnya terdengar keributan yang sepertinya sangat serius. Ada di antara salah satu dari anaknya berkata keras “ pokoknya warisan saya harus lebih banyak” ibu nya menjerit dengan sesak sambil menangis “ nak ayahmu baru saja dikubur nanti kalau sudah seminggu atau empat puluh hari” ibu pemuda itu menyampaikan.  “saya tidak mau tahu “ tukas anaknya. Terjadilah pertengkaran yang sangat sengit dan dan berbicara yang  tidak terarah lagi , tidak lagi dengan akal sadarnya..sampai-sampai salah satu anak terdengar membenatak ibu nya “ pergi ibu dari rumah ini kalau enggak saya bunuh nanti “. saat itu sang guru agak kebingungan “mau masuk bagaimana, mau tinggal diam sepertinya perlu penengah dalam masalah ini” uangkap hatinya ,akhirnya ia beranikan diri “ Assalamu’alaikum , ….tak satupun menjawab akan tetapi pertengkaran sudah mulau surut tak lagi ada suara keras, kemudian keluarlah seorang ibu sambil isak tangis yang ditahan dan mata yang masih memerah karena mungkin tangisan yang tak terbendung tadi. Kemudian sang guru beranikan diri untuk bertanya kepada ibu “ Bu bagaimana acara salanjutnya ada acara tidak nanti malam atau hari berikutnya ? ‘ Tanya sang guru, seperinya ibu itu masih bingung , akhirnya sang gurupun berkata lebih awal dari nya “ baiklah jika tidak ada acara lainya tidak apa, yang penting ibu dan keluarga mendokan yang sudah meningal.
Beberapa hari kemudian salah satu dari anak nya yang lebih tua datang dengan membawa sebingkis apa kurang faham , sepertinya gula , ia mencurahkan isi hatinya tentang bagaimana membagi warisan setelah orang tua tidak ada “Pak guru, bapak saya meninggalkan harta berupa kebun, sawah,kenadaraan, rumah dan kami bersama ibu dan kakak” , tukasnya sambil percaya diri dan tak merasa sedih apalagi merasa berdosa . “ nanti saja dulu,sabar kalau sudah agak lama ,tanah bapak mu saja belum kering sudah membicarakan warisan, “.kata sang guru .” Saya takut pak nanti semua di jual oleh kakak saya . jawab pemuda . “ baiklah nanti kalian datang bersama kakak dan ibumu kemari.
Keesokan harinya ketika waktu dhuha datanglah mereka berduyun duyun dengan kendaraan warna putih metalik di depan rumah. Setelah  berhenti kendaraan,  mereka turun ada yang sedih terutama ibu namun ada tertawa girang yaitu kedua putranya, langsung saja sang guru sambut dan ia persilah kan masuk ke dalam gubuknya. Setelah duduk tanpa basi basi langsung ia sampaikan kepada meraka, “ Bapak telah tiada , bapak meninggalkan harta yang tidak sedikit, mungkin di antara kalian ada yang ingin segera mendapat warisan apa begitu “Tanya sang guru  bener pak”,jawab salah satu dari kedua pemuda itu,  baiklah, kata sang guru “ ada tiga cara menyelsaikan warisan, yang pertama dengan cara agama , kedua dengan cara negara dan yang ketiga dengan cara kekeluargaan, syukur hal ini dapat selesai dengan keluargaan tanpa satu pun terlibat kecuali hanya keluarga saja”  kata sang guru. “ mana yang lebih baik pak ? tanya mereka tentu dengan cara hukum agama karena itu hokum Alloh yaitu alqur’an “. bagaimana membaginya pak ? mereka sepertinya mendesak dan antusias. Kalau kalian setuju dengan agama saya hitungkan sesuai dengan ilmu faroidh yang telah ditentukan Alloh. Setelah dihitung dan bagi masing-masing harta kedua anak tersebut tidak terima dan akhirnya pulang, keesokan harinya mereka pun datang untuk menyelsaikan dengan cara negara, merekapun ada yang tidak terima. Seusai magrib sang guru datang kerumah meraka dan dikupulkan di ruang tamu, ia sampaikan panjang lebar, namun tetap mereka tidak terima dengan semua itu. Tanpa disadari sang guru mengambil tas dan mengeluarkan sebilah pisau yang tajam….” Berebutlah kalian dengan pisau ini siapa yang dapat itu yang mengusai” tegas guru akhirnya mereka tertunduk terdiam , dan sang gur meninggalkan meraka
Hati yang mati tak pernah merasa puas uurusan duniawi…….
Hati yang mati akan selalu iri dan timbul dengki
Hati yang mati tak mau sujud pada Illahi
Hati yang mati hanya berangan angan menggapai duniawi
Hati yang mati tak tergugah untuk panggilan Illahy
Hati yang mati tak memiliki rasa peduli
            Hati yang mati tak pernah sadar bahwa dirinya akan jemput mati …….
****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar